Minggu, 28 Desember 2014

LAPORAN KUNJUNGAN RPH MAJELUK

LAPORAN KUNJUNGAN
RUMAH POTONG HEWAN MAJELUK
MATARAM






Disusun oleh :
Nama : Meli yuliani
                                                              Prodi : D3 Gizi
       NIM : P07141013033






KEMENTRIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM
2014/2015
BAB I
A.    Pendahuluan
1.      Latar belakang kunjungan
     Tempat yang tepat untuk mendapatkan daging yang berkualitas  khususnya pada ternak yaitu RPH ( Rumah Potong Hewan). Dimana di RPH ini pemotongan hewan dilakukan oleh tenaga-tenaga yang sudah ahli  dibidangnya. RPH merupakan suatu kompleks bangunan yang telah didesain dan dikontruksi dengan baik sesuai dengan standar yang berlaku. RPH merupakan tempat pemotongan bagi ternak besar khususnya sapi yang tentunya menghasilkan daging (karkas).
     Dalam proses pemenuhannya saling terkait dengan suatu teknik dimana proses daging tersebut didapat kemudian diolah. Teknik yang dimaksud yakni teknik pemotongan dari ternak, dimana teknik potong merupakan salah satu faktor yang menentukan apakah daging yang dihasilkan baik seperti tujuannya yaitu untuk menghasilkan daging yang berkualitas dan segar.

2.      Tujuan kunjungan
-          Tujuan umum
Mahasiswa mengetahui tetang cara penanganan dan penentuan mutu bahan makanan  di suatu institusi
-          Tujuan khusu
1.      Mengidentifikasi gambaran umum (sejarah      berdirinya,pengelolaan,ketenagaan,dll) di lokasi kunjungan lapangann.
2.      Mengidetikasi cara / tahapan penanganan bahan pangan di lokasi kunjungan.
3.      Mengidentifikasi cara penentuan mutu bahan pangan di lokasi kunjungan
4.      Mengidentifikasi sifat fisik, kimia dan organoleptik bahan pangan di lokasi kunjungan
5.     Mengidentifikasi  tanda-tanda kerusakan yang terdapat pada bahan pangan dilokasi kunjungan.



BAB II
B.     Pembahasan
1.      Sejarah berdiri tempat kunjunga
Rumah Potong Hewan  (RPH) Majeluk berdiri pada tahun 1967. RPH ini berdiri karena banyaknya permintaan pasar atau masyarakat di sekitar sehingga pada tahun 1967 itulah Rumah Potong Hewan (RPH) Majeluk ini didirikan. Rumah Potong Hewan (RPH) Majeluk ini merupakan Rumah Potong Hewan (RPH) Tradisional yang dikelola oleh Pemerintah Kota Mataram. Rumah Potong Hewan (RPH) Majeluk ini tidak memiliki data tertulis tentang sejarah berdirinya baik itu pembangunan, peresmian dan dimulai pemanfaatannya.
2.      Cara identifikasi mutu bahan
1.      Warna daging
         Warna merupakan salah satu parameter yang diukur dalam penilaian mutu dan tingkat penerimaan konsumen terhadap daging segar. Warna daging adalah indikator kualitas yang utama dari daging mentah. Intensitas warna dapat digunakan untuk mengevaluasi umur hewan. Warna daging yang baik untuk daging sapi adalah jika daging tersebut berasal dari sapi dewasa, warna daging yang baik adalah merah terang. Sedangkan untuk daging sapi muda, warna daging yang baik adalah kecokelatan merah muda. Menurut Purdue University Animal Sciences (2012), ada beberapa faktor yang mempengaruhi warna daging mentah. Beberapa faktor tersebut adalah spesies, usia, jenis kelamin hewan, cara memotong daging, waterholding (air yang dikandung) kapasitas daging, pengeringan pada permukaan daging, pembusukan pada permukaan daging, dan cahaya yang mengenai permukaan daging.
       Daging dari hewan tua mengandung myoglobin lebih banyak sehingga berwarna lebih gelap. Warna kusam, tidak rata dan coklat menunjukkan pertumbuhan mikrobiologi atau daging telah mulai mengalami pembusukan. Warna daging didasarkan pada struktur kimia hemoproteins: hemoglobin dan mioglobin. Sifat fisik seperti daya ikat air dan karakteristik tekstur juga mempengaruhi warna tetapi dalam pengaruh yang tidak signifikan.
Warna daging pada dasarnya adalah Sebuah fenomena permukaan dan beberapa milimeter di bawah permukaan daging stabilitas warna bisa sangat berbeda.
2.      Tekstur
Kesan keempukan daging secara keseluruhan meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek yaitu
-          pertama, kemudahan awal penetrasi gigi ke dalam daging.
-          kedua, mudahnya daging dikunyah menjadi fragmen/potongan- potongan yang lebih kecil.
-          ketiga jumlah sisa fragmen/potongan yang tertinggal setelah pengunyahan.
Menurut Soeparno (2005), keempukan dan tekstur daging kemungkinan besar merupakan penentu yang paling penting pada kualitas daging.
 Faktor yang mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi faktor antemortem seperti genetik dan termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, managemen, jenis kelamin dan stress.
Faktor postmortem antara lain meliputi metode pelayuan (chilling), refrigerasi dan pembekuan termasuk faktor lama dan temperatur penyimpanan serta metode pengolahan termasuk metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk.
Jadi keempukan bisa berfariasi diantaranya spesies, bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas dan diantara otot serta otot yang sama.

3.      Perlemakan (marbling)
lemak intermuskuler disebut juga lemak “marbling” turut memberikan andil terhadap keempukan dan cita rasa daging.
Marbling adalah garis-garis tipis dan bintik-bintik lemak putih pada potongan daging. Lemak “marbling “ tinggi, lebih empuk karena saat pemasakan lemak mencair.Marbling dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk pola makan, genetika, kondisi, dan lokasi tempat ternak tersebut berada. Pakan ternak yang kaya akan nutrisi menghasilkan marbling terbaik, dan sapi yang dibesarkan dalam kondisi ideal sejak lahir cenderung memiliki marbling yang unggul. Lemak daging yang berasal dari sapi muda akan berwarna putih kekuningan, sedangkan lemak yang berasal dari sapi tua akan berwarna kekuningan. Jumlah marbling yang dihasilkan menentukan kelembutan, intensitas rasa, dan juiciness saat dimasak. Alasannya adalah marbling membuat asam lemak dalam daging sapi mengalami perubahan kimia yang kompleks bila terkena panas. Perubahan kimia tersebut berinteraksi dengan asam lemak, berkembang di daging,  dan menimbulkan cita rasa yang enak. Lemak tersebut juga memberikan aroma khas daging sapi ketika dimasak dan juiciness yang disebabkan oleh lemak yang meleleh di daging. Marbling lebih tinggi pada sapi yang diberi pakan biji- bijian (grain-fed-beef) daripada sapi yang diberi pakan rumput (grassfed-beef).  Daging dengan lebih banyak marbling akan lebih empuk dan lebih bercitarasa daripada daging dengan sedikit marbling.Namun daging dengan sedikit marbling memiliki kandungan kalori dan lemak jenuh lebih sedikit dan lebih dianjurkan dikonsumsi oleh ahli gizi.
4.       Rasa
Rasa  atau taste adalah penerjemahan otak atas sensasi yang diterima oleh indera pengecap yang ditimbulkan oleh senyawa yang larut dan berinteraksi dengan reseptor pada lidah. Hingga saat ini terdapat 5 rasa yang dianggap rasa dasar yang dapat dikenali oleh lidah manusia yaitu manis, pahit, asam, asin dan umami (rasa gurih). Bahan pangan yang memiliki rasa gurih memiliki komponen utama berupa nukleotida dan asam amino seperti glutamat dan aspartat. Senyawa glutamat merupakan salah satu asam amino yang banyak ditemukan pada tomat, keju, susu, terasi, dan lainnya. Untuk merasakan gurih, diyakini diperlukan beberapa reseptor yang berbeda. Sebuah riset fisiologis saraf juga membuktikan bahwa rasa gurih yang sempurna dapat tercipta apabila dikombinasikan dengan aroma gurih tertentu. Daging sapi yang berkualitas baik mempunyai rasa yang relatif gurih,enak dan aroma yang sedap yang dapat pula dijabarkan sebagai tasty. Rasa daging juga dapat berasal dari juiceness yaitu kandungan air di dalam daging dan lemak daging ataupun bumbu-bumbu yang ditambahkan. Sehingga semakin banyak kandungan air di dalam daging maka rasa daging akan semakin juicy.
5.       Aroma
Aroma daging merupakan salah satu indikator dalam penilaian organoleptik dalam menentukan suatu produk. Faktor yang mempengaruhi rasa adalah aroma yang terdeteksi oleh hidung. Menurut Trantono (2011), aroma pada daging sapi dipengaruhi oleh jenis pakan yang diberikan pada saat sapi hidup. Aroma yang tidak normal biasanya akan segera tercium sesudah hewan dipotong. Hal itu dapat disebabkan oleh adanya kelainan antara lain hewan sakit dan hewan dalam pengobatan. Hewan yang sakit, terutama yang menderita radang bersifat akut pada organ dalam, akan menghasilkan daging yang berbau seperti mentega tengik. Sedangkan hewan dalam masa pengobatan terutama dengan pemberian antibiotika, akan menghasilkan daging yang berbau obat-obatan.

3.      Proses pengolahan daging
1.      Pemeriksaan Ante-mortem
Hewan-hewan yang akan disembelih untuk menghasilkan daging harus terlebih dahuludiperiksa kesehatannya oleh doktor hewan atau mantri hewan untuk mencegah kemungkinanterjadinya penularan penyakit dari daging kepada konsumen. Hewan-hewan yang menderita penyakit menular atau penyakit cacing yang dapat menulari manusia dilarang untuk disembelih
2.      Penyembelihan
Penyembelihan adalah usaha untuk mengeluarkan darah hewan dengan memotong pembuluh darah pada bagian leher (vena jugularis).
 Dalam beberapa hal dilakukan pemingsanan hewan terlebih dahulu sebelum penyembelihan dengan cara memukul ataumenembak daerah otak pada bagian kepala atau dengan menggunakan aliran listrik dengantujuan agar hewan tidak meronta pada waktu penyembelihan. Untuk memperoleh daging yang berkualitas baik, faktor-faktor yang harus diperhatikan pada waktu penyembelihan hewan adalahsebagai berikut :a. Permukaan kulit hewan harus dalam keadaan bersih. b. Hewan harus dalam kondisi prima, tidak lelah, tidak kelaparan dan tenang.c. Pengeluaran darah harus berlangsung dengan cepat dan sempurna.d. Perlakuan-perlakuan yang menyebabkan terjadinya memar dan luka pada jaringan otot harus dihindari.e. Kontaminasi dengan mikroorganisme harus dihindari dengan menggunakanalat-alat yang bersih.
3.      Penyiangan dan pemeriksaan Pasca-mortem.
Setelah penyembelihan, kepala dipisahkan pada batas tulang kepala dengan tulangleher pertama, kaki pertama dipotong pada persendian metetarsus, kaki belakang dipotong pada persendian metacarpus, jeroan dikeluarkan dengan membuka bagian bawah perut secaramembujur dan keudian dikuliti.
Daging yang masih menempel pada tulang hasil dari penyiangan ini disebut karkas. Setelah penyiangan , dilakukan pemeriksaan pasca mortem terhadap karkas dan jeroan (hati, jantung, limpa, ginjal dan usus)untuk meyakinkan bahwa karkas tersebut tidak mengandung penyakit yang dapat ditularkan kepada konsumen melalui daging.
4.      Pelayuan
Pelayuan dari karkas yang dihasilkan setelah penyiangan bertujuan untuk  memberikan kesempatan agar proses-proses biokimia yang terjadi pada daging setelah hewan mati dapat berlangsung secara sempurna sebelum daging tersebut dikonsumsi. Pelayuan ini harus dilakukan untuk memperoleh daging dengan keempukan dan cita rasa yang baik sebagai hasil dari proses-proses biokimia yang berlangsung selama pelayuan.

4.      Proses pemotongan
                 Pada Rumah Potong Hewan (RPH) Majeluk ini tidak dilakukan dengan cara tanpa pemingsannan. Penyembelihan dengan cara ini ternak direbahkan secara paksa dengan menggunakkan tali yang diikatkan pada kaki-kaki ternak yang dihubungkan dengan ring-ring besi yang tertanam pada lantai Rumah Potong, dengan menarik tali-tali ini ternak akan rebah. Pada penyembelihan dengan sistem ini diperlukan waktu kurang lebih 4 menit untuk mengikat dan merobohkan ternak. Pada saat ternak roboh akan menimbulkan rasa sakit karena ternak masih dalam keadaan sadar.
Sebelum dilakukan penyembelihan,  sapi diistirahatkan dahulu, setelah sapi selesai diistirahatkan sapi dibawa ke kandang penyembelihan untuk kemudian disembelih, dimana proses awal penyembelihan yaitu sapi direbahkan.
kemudian setelah sapi direbahkan dan dipastikan kaki-kaki sapi sudah terikat agar pada saat pemotongan leher sapi, sapi tidak mengamuk.
Setelah dilakukan pemotongan, kepala sapi dipisahkan dengan badannya lalu baru sapi dikuliti dan lain sebagainya. Pada saat pemotongan diusahakan agar darah secepatnya dan sebanyak-banyaknya keluar serta tidak terlalu banyak meronta, karena hal ini akan ada hubungannya dengan : warna daging, kenaikan temperatur urat daging, pH urat daging (setelah ternak mati), kecepatan daging membusuk.
Untuk mengetahui kelas kualitas daging maka perlu dilakukan klasifikasi kelas daging. Adapun klasifikasi kelas daging sebagai berikut :
a.     Kelas I : Daging punggung dan paha belakang.
b.    Kelas II : Paha depan dan daging iga
c.     Kelas III : Tetelan                                            
5.      Perubahan-perubahan pasca mortem
Pada jaringan otot hewan hidup berlangsung proses kontraksi dan relaksasi secara natural. Apabila rangsangan tersebut hilang maka jaringan otot akan kembali berrelaksasi. Proses ini berlangsung melalui rangsangan datang melalui susunan syaraf pusat, jaringan otot akan berkontraksidan apabla reaksi-reaksi biokimia pada kondisi aerobik yang mana oksigen disuplai dari respirasi melalui sirkulasi darah. Apabila hewan talah mati, maka respirasi dan sirkulasidarah akan terhenti dan reaksi-reaksi biokimia dalam jaringan otot berlangsung secara anaerobik yang menghasilkan terjadinya perubahan-perubahan fisiko-kimia pada jaringan otot.
Perubahan-perubahan ini berlangsung dalam 3 fase setelah hewan mati, yaitu :
a.      Fase pre-rigo
 Setelah hewan mati, maka pernafasan dan sirkulasi darah akan terhenti sehingga suplai oksigen ke jaringan otot juga terhenti. Akibatnya, proses oksidasi glikogen melalui siklus KREB untuk menghasilkan ATP juga terhenti. Sisa glikogen yang terdapat dalam jaringan otot akandipecah menjadi asam laktat melalui proses glikosilisis anaerobik sehingga pH jaringan otot akanmenurun secara perlahan-lahan. Segera setelah hewan mati (fase pre-rigor), dalam jaringan ototmasih terdapat kompleks ATP- Mg2+ yang cukup untuk menjaga agar tidak terjadi persilangan filamen-filamen aktin pada sarkomer-sarkomer serabut otot sehingga jaringan otot tetap lunak,lemas dan halus. Fase ini berlangsung sekitar 8–12 jasetelah hewan mati.
b.    Fase rigor-mortis
Setelah hewan mati, serabut retikuler tidak dapat berfungsi sehingga ion-ion Ca2+terlepasyang mengakibatkan kompleks ATP- Mg2+ dipecah menghasilkan ATP bebas dan enzim ATP-asediaktifkan untuk memecah ATP bebas menghasilkan energi yang diperlukan untuk terjadinya persilangan filamen-filamen aktin pada sarkomer-sarkomer serabut otot.  Proses ini berlangsung secara perlahan-lahan dan pada fase rigor-mortis, persilangan filamen-filamen aktin padasarkomer-sarkomer serabut otot terjadi secara sempurna sehingga jaringan otot menjadi keras,kasar dan kaku. Fase ini berlangsung sekitar 15 – 20 jam setelah fase pre-rigor.
c.     Fase pasca-rigor
  Mulai dari sejak hewan mati proses pemecahan ATP dan glikogen berlangsung terusselama masih ada yang tersisa dalam jaringan otot. Produk akhir dari pemecahan ATP adalahsenyawa-senyawa “precusor” cita-rasa daging yang menyebabkan cita-rasa spesifik pada dagingdan produk akhir pemecahan glikogen adalah asam laktat yang menyebabkan penurunan pH jaringan otot.Pada fase pasca-rigor, pH jaringan otot yang normal sekitar 6,5 -6,6 akan turun menjadi pH sekitar 5,3 –  5,5. Apabila pH jaringan otot mencapai 5,5 maka sel-sel otot akan melepaskan dan mengaktifkan suatu enzim proteolitik “cathepsin”. Enzim “cathepsin” ini akan mengendorkan serabut-serabut otot yang tegang, melonggarkan struktur molekul proteinsehingga daya ikatnya terhadap air meningkat dan menghancurkan ikatan-ikatan diantaraserabut-serabut otot yang mana kesemuanya ini akan menyebabkan jaringan otot yang tegangdan kaku pada fase rigor-mortis akan kembali menjadi empuk dan halus pada fase pasca-rigor. Kondisi hewan pada waktu penyembelihan (lelah, kelaparan, dsb.) akan mempengaruhisisa glikogen yang terdapat pada jaringan otot. Apabila hewan lelah atau kelaparan sebelum penyembelihan, maka sisa glikogen dalam jaringan otot sedikit sehingga pH akhir yang dicapai pada fasepasca-rigor relatif tinggi. Apabila pH akhir jaringan otot pada fase pasca-rigormencapai 5,8 atau lebih tinggi, maka daya ikat air dari molekul protein sedemikian rupatingginya sehingga daging akan kelihatan gelap, kasar dan kering (GKK) atau “dark, firm anddry” (DFD).
Sebaliknya, karena faktor “strees” dan faktor -faktor lain yang belum diketahui,penurunan pH dapat berlangsung sangat cepat dan sangat rendah. 
Hal ini akan menyebabkan daya ikat air dari molekul protein juga sangat rendah sehingga daging kelihatan pucat, lunak dan berair (PLB) atau“ pale, soft and exudative” (PSE).


BAB III
A.    Penutup
1.      Kesimpulan
Dari hasil kunjungan dapat disimpulkan bahwa ayam yang dipotong merupakan ayam  yang sehat. Ayam broiler dipotong pada umur 31-33 hari dengan berat rata-rata 1,9 kg/ekor. Cara pemotongan ayam dilakukan dengan cara tradisional. Ayam yang dipotong mengalami beberapa proses sebelum siap untuk didistribusikan, mulai dari penyemblihan ayam, penuntasan darah, penyeduhan atau perebusan di dalam air hangat sehingga bulu ayam mudah untuk dilepaskan, pencabutan bulu dilakukan dengan menggunakan mesin pencabut bulu, Pengeluaran jeroan, dan terakhir ayam dicuci dan siap untuk dijual atau didistribusikan. Apabila semua proses di atas dilakukan dengan baik maka akan menghasilkan daging ayam yang berkualitas baik juga sehingga laku dipasaran. Sedangkan apabila prose-proses tersebut tidak dilakukan dengan baik maka daging ayam yang dihasilkan kurang baik, dan akan mempengaruhi kandungan nilai gizi dari daging ayam tersebut, sehingga akan mengurangi minat dari pembeli. Karena pembeli atau konsumen pasti akan memilih kualitas daging ayam yang baik agar mampu menjalankan metabolisme tubuh yang optimal. Jika ayam tidak habis terjual dilakukan dengan cara di simpan di coolbox (frezer).
2.      Saran
Ayam boiler merupakan sumber protein hewani sehingga dianjurkan untuk dikonsumsi untuk mencukupi kebutuhan gizi. Dalam membeli daging ayam pilihlah daging ayam yang segar, dengan melihat warna dan bau dari daging ayam tersebut. Ayam yang baik dikonsumsi adalah ayam yang dagingnya masih berwarna kuning cerah bukan merah. apabila warnanya sudah merah atau sedikit kehitaman maka daging ayam tersebut sudah tidak bagus, dan apabila baunya sudah tengik maka daging ayam tersebut sudah tidak bagus/segar karena telah terjadi oksidasi lemak daging dari ayam tersebut. Pemilihan ayam hendaknya dapat dilihat dari proses pemeliharaan, tempat pemotongan dan yang paling utama yaitu harus mengetahui tingkat kesehatan dan kesegaran ayam tersebut.



Daftar pustaka
Rasyaf,M., Beternak Ayam Pedaging, Edisi Revisi (Jakarta: penebar Swadaya, 1994).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar