LAPORAN KUNJUNGAN
RUMAH POTONG HEWAN MAJELUK
MATARAM
Disusun oleh :
Nama : Meli yuliani
Prodi : D3 Gizi
NIM : P07141013033
KEMENTRIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM
2014/2015
BAB I
A.
Pendahuluan
1.
Latar
belakang kunjungan
Tempat yang tepat untuk mendapatkan daging
yang berkualitas khususnya pada ternak
yaitu RPH ( Rumah Potong Hewan). Dimana di RPH ini pemotongan hewan dilakukan
oleh tenaga-tenaga yang sudah ahli
dibidangnya. RPH merupakan suatu kompleks bangunan yang telah didesain
dan dikontruksi dengan baik sesuai dengan standar yang berlaku. RPH merupakan
tempat pemotongan bagi ternak besar khususnya sapi yang tentunya menghasilkan
daging (karkas).
Dalam proses pemenuhannya saling terkait
dengan suatu teknik dimana proses daging tersebut didapat kemudian diolah.
Teknik yang dimaksud yakni teknik pemotongan dari ternak, dimana teknik potong
merupakan salah satu faktor yang menentukan apakah daging yang dihasilkan baik
seperti tujuannya yaitu untuk menghasilkan daging yang berkualitas dan segar.
2.
Tujuan
kunjungan
-
Tujuan umum
Mahasiswa
mengetahui tetang cara penanganan dan penentuan mutu bahan makanan di suatu institusi
-
Tujuan khusu
1.
Mengidentifikasi gambaran umum (sejarah berdirinya,pengelolaan,ketenagaan,dll) di
lokasi kunjungan lapangann.
2.
Mengidetikasi cara / tahapan penanganan bahan pangan di lokasi kunjungan.
3.
Mengidentifikasi cara penentuan mutu bahan pangan di lokasi kunjungan
4.
Mengidentifikasi sifat fisik, kimia dan organoleptik bahan pangan di lokasi
kunjungan
5. Mengidentifikasi tanda-tanda kerusakan yang terdapat pada
bahan pangan dilokasi kunjungan.
BAB
II
B.
Pembahasan
1.
Sejarah
berdiri tempat kunjunga
Rumah Potong
Hewan (RPH) Majeluk berdiri pada tahun
1967. RPH ini berdiri karena banyaknya permintaan pasar atau masyarakat di
sekitar sehingga pada tahun 1967 itulah Rumah Potong Hewan (RPH) Majeluk ini
didirikan. Rumah Potong Hewan (RPH) Majeluk ini merupakan Rumah Potong Hewan
(RPH) Tradisional yang dikelola oleh Pemerintah Kota Mataram. Rumah Potong
Hewan (RPH) Majeluk ini tidak memiliki data tertulis tentang sejarah berdirinya
baik itu pembangunan, peresmian dan dimulai pemanfaatannya.
2.
Cara
identifikasi mutu bahan
1. Warna
daging
Warna
merupakan salah satu parameter yang diukur dalam penilaian mutu dan tingkat
penerimaan konsumen terhadap daging segar. Warna daging adalah
indikator kualitas yang utama dari daging mentah. Intensitas warna dapat
digunakan untuk mengevaluasi umur hewan. Warna daging yang baik untuk daging
sapi adalah jika daging tersebut berasal dari sapi dewasa, warna daging yang
baik adalah merah terang. Sedangkan untuk daging sapi muda, warna daging yang
baik adalah kecokelatan merah muda. Menurut Purdue University Animal Sciences
(2012), ada beberapa faktor yang mempengaruhi warna daging mentah. Beberapa
faktor tersebut adalah spesies, usia, jenis kelamin hewan, cara memotong daging,
waterholding (air yang dikandung) kapasitas daging, pengeringan pada permukaan
daging, pembusukan pada permukaan daging, dan cahaya yang mengenai permukaan
daging.
Daging dari hewan tua mengandung
myoglobin lebih banyak sehingga berwarna lebih gelap. Warna kusam, tidak rata
dan coklat menunjukkan pertumbuhan mikrobiologi atau daging telah mulai
mengalami pembusukan. Warna daging didasarkan pada struktur kimia hemoproteins:
hemoglobin dan mioglobin. Sifat fisik seperti daya ikat air dan karakteristik
tekstur juga mempengaruhi warna tetapi dalam pengaruh yang tidak signifikan.
Warna
daging pada dasarnya adalah Sebuah fenomena permukaan dan beberapa milimeter di
bawah permukaan daging stabilitas warna bisa sangat berbeda.
2. Tekstur
Kesan
keempukan daging secara keseluruhan meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek
yaitu
-
pertama, kemudahan awal
penetrasi gigi ke dalam daging.
-
kedua, mudahnya daging dikunyah
menjadi fragmen/potongan- potongan yang lebih kecil.
-
ketiga jumlah sisa
fragmen/potongan yang tertinggal setelah pengunyahan.
Menurut
Soeparno (2005), keempukan dan tekstur daging kemungkinan besar merupakan penentu
yang paling penting pada kualitas daging.
Faktor yang mempengaruhi keempukan daging
digolongkan menjadi faktor antemortem seperti genetik dan termasuk bangsa,
spesies dan fisiologi, faktor umur, managemen, jenis kelamin dan stress.
Faktor
postmortem antara lain meliputi metode pelayuan (chilling),
refrigerasi dan pembekuan termasuk faktor lama dan temperatur penyimpanan serta
metode pengolahan termasuk metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk.
Jadi keempukan bisa berfariasi diantaranya spesies, bangsa, ternak dalam
spesies yang sama, potongan karkas dan diantara otot serta otot yang sama.
3.
Perlemakan (marbling)
lemak intermuskuler disebut juga lemak “marbling” turut memberikan andil
terhadap keempukan dan cita rasa daging.
Marbling adalah
garis-garis tipis dan bintik-bintik lemak putih pada potongan daging. Lemak
“marbling “ tinggi, lebih empuk karena saat pemasakan lemak mencair.Marbling
dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk pola makan, genetika, kondisi,
dan lokasi tempat ternak tersebut berada. Pakan ternak yang kaya akan nutrisi
menghasilkan marbling terbaik, dan sapi yang dibesarkan dalam kondisi
ideal sejak lahir cenderung memiliki marbling yang unggul. Lemak daging
yang berasal dari sapi muda akan berwarna putih kekuningan, sedangkan lemak
yang berasal dari sapi tua akan berwarna kekuningan. Jumlah marbling yang
dihasilkan menentukan kelembutan, intensitas rasa, dan juiciness saat
dimasak. Alasannya adalah marbling membuat asam lemak dalam daging sapi
mengalami perubahan kimia yang kompleks bila terkena panas. Perubahan kimia
tersebut berinteraksi dengan asam lemak, berkembang di daging, dan menimbulkan cita rasa yang enak. Lemak
tersebut juga memberikan aroma khas daging sapi ketika dimasak dan juiciness
yang disebabkan oleh lemak yang meleleh di daging. Marbling lebih tinggi pada sapi yang diberi pakan biji-
bijian (grain-fed-beef) daripada sapi yang diberi pakan rumput (grassfed-beef).
Daging
dengan lebih banyak marbling akan lebih empuk dan lebih bercitarasa daripada
daging dengan sedikit marbling.Namun daging dengan sedikit marbling memiliki
kandungan kalori dan lemak jenuh lebih sedikit dan lebih dianjurkan dikonsumsi
oleh ahli gizi.
4.
Rasa
Rasa atau taste adalah penerjemahan otak
atas sensasi yang diterima oleh indera pengecap yang ditimbulkan oleh senyawa
yang larut dan berinteraksi dengan reseptor pada lidah. Hingga saat ini
terdapat 5 rasa yang dianggap rasa dasar yang dapat dikenali oleh lidah manusia
yaitu manis, pahit, asam, asin dan umami (rasa gurih). Bahan pangan yang
memiliki rasa gurih memiliki komponen utama berupa nukleotida dan asam amino
seperti glutamat dan aspartat. Senyawa glutamat merupakan salah satu asam amino
yang banyak ditemukan pada tomat, keju, susu, terasi, dan lainnya. Untuk
merasakan gurih, diyakini diperlukan beberapa reseptor yang berbeda. Sebuah
riset fisiologis saraf juga membuktikan bahwa rasa gurih yang sempurna dapat
tercipta apabila dikombinasikan dengan aroma gurih tertentu. Daging sapi yang
berkualitas baik mempunyai rasa yang relatif gurih,enak dan aroma yang sedap
yang dapat pula dijabarkan sebagai tasty. Rasa daging juga dapat berasal
dari juiceness yaitu kandungan air di dalam daging dan lemak daging
ataupun bumbu-bumbu yang ditambahkan. Sehingga semakin banyak kandungan air di
dalam daging maka rasa daging akan semakin juicy.
5.
Aroma
Aroma daging merupakan salah satu indikator dalam
penilaian organoleptik dalam menentukan suatu produk. Faktor
yang mempengaruhi rasa adalah aroma yang terdeteksi oleh hidung. Menurut
Trantono (2011), aroma pada daging sapi dipengaruhi oleh jenis pakan yang
diberikan pada saat sapi hidup. Aroma yang tidak normal biasanya akan segera
tercium sesudah hewan dipotong. Hal itu dapat disebabkan oleh adanya kelainan
antara lain hewan sakit dan hewan dalam pengobatan. Hewan yang sakit, terutama
yang menderita radang bersifat akut pada organ dalam, akan menghasilkan daging
yang berbau seperti mentega tengik. Sedangkan hewan dalam masa pengobatan terutama
dengan pemberian antibiotika, akan menghasilkan daging yang berbau obat-obatan.
3.
Proses pengolahan daging
1.
Pemeriksaan Ante-mortem
Hewan-hewan yang akan disembelih untuk menghasilkan daging
harus terlebih dahuludiperiksa kesehatannya oleh doktor hewan atau mantri
hewan untuk mencegah kemungkinanterjadinya penularan penyakit dari daging
kepada konsumen. Hewan-hewan yang menderita penyakit menular atau penyakit
cacing yang dapat menulari manusia dilarang untuk disembelih
2.
Penyembelihan
Penyembelihan adalah usaha untuk mengeluarkan darah hewan dengan memotong
pembuluh darah pada bagian leher (vena jugularis).
Dalam beberapa hal dilakukan pemingsanan hewan terlebih dahulu sebelum penyembelihan dengan cara memukul ataumenembak
daerah otak pada bagian kepala atau dengan menggunakan aliran listrik
dengantujuan agar hewan tidak meronta pada waktu penyembelihan. Untuk
memperoleh daging yang berkualitas
baik, faktor-faktor yang harus diperhatikan pada waktu penyembelihan hewan adalahsebagai
berikut :a. Permukaan kulit hewan harus dalam keadaan bersih. b. Hewan harus dalam kondisi prima, tidak lelah,
tidak kelaparan dan tenang.c. Pengeluaran darah harus berlangsung dengan cepat dan sempurna.d. Perlakuan-perlakuan yang menyebabkan terjadinya memar dan luka pada jaringan otot harus dihindari.e. Kontaminasi dengan mikroorganisme harus dihindari dengan menggunakanalat-alat yang bersih.
3. Penyiangan dan pemeriksaan Pasca-mortem.
Setelah penyembelihan, kepala dipisahkan pada batas tulang kepala dengan
tulangleher pertama, kaki pertama dipotong pada persendian metetarsus, kaki belakang dipotong pada persendian metacarpus, jeroan dikeluarkan dengan membuka bagian bawah perut secaramembujur
dan keudian dikuliti.
Daging yang masih menempel pada tulang hasil dari penyiangan ini disebut
karkas. Setelah penyiangan , dilakukan pemeriksaan pasca mortem terhadap karkas dan jeroan (hati, jantung, limpa, ginjal dan usus)untuk
meyakinkan bahwa karkas tersebut tidak mengandung penyakit yang dapat
ditularkan kepada konsumen melalui daging.
4.
Pelayuan
Pelayuan dari karkas yang dihasilkan setelah penyiangan bertujuan
untuk memberikan kesempatan agar
proses-proses biokimia yang terjadi pada daging setelah hewan mati
dapat berlangsung secara sempurna sebelum daging tersebut
dikonsumsi. Pelayuan ini harus dilakukan untuk memperoleh daging dengan
keempukan dan cita rasa yang baik sebagai hasil dari proses-proses biokimia
yang berlangsung selama pelayuan.
4.
Proses pemotongan
Pada Rumah Potong Hewan (RPH)
Majeluk ini tidak dilakukan dengan cara tanpa
pemingsannan. Penyembelihan dengan cara ini ternak direbahkan secara paksa dengan
menggunakkan tali yang diikatkan pada kaki-kaki ternak yang dihubungkan dengan
ring-ring besi yang tertanam pada lantai Rumah Potong,
dengan menarik tali-tali ini ternak akan rebah. Pada penyembelihan dengan
sistem ini diperlukan waktu kurang lebih 4 menit untuk mengikat dan merobohkan
ternak. Pada saat ternak roboh akan menimbulkan rasa sakit karena ternak masih
dalam keadaan sadar.
Sebelum dilakukan penyembelihan,
sapi diistirahatkan dahulu, setelah sapi selesai diistirahatkan sapi
dibawa ke kandang penyembelihan untuk kemudian disembelih, dimana proses awal penyembelihan
yaitu sapi direbahkan.
kemudian setelah sapi direbahkan dan
dipastikan kaki-kaki sapi sudah terikat agar pada saat pemotongan leher sapi,
sapi tidak mengamuk.
Setelah dilakukan pemotongan, kepala
sapi dipisahkan dengan badannya lalu baru sapi dikuliti dan lain sebagainya. Pada saat pemotongan diusahakan agar darah secepatnya dan
sebanyak-banyaknya keluar serta tidak terlalu banyak meronta, karena hal ini
akan ada hubungannya dengan : warna daging, kenaikan temperatur urat daging, pH
urat daging (setelah ternak mati), kecepatan daging membusuk.
Untuk mengetahui kelas kualitas daging maka perlu dilakukan klasifikasi
kelas daging. Adapun klasifikasi kelas daging sebagai berikut :
a. Kelas I :
Daging punggung dan paha belakang.
b. Kelas II :
Paha depan dan daging iga
c. Kelas III :
Tetelan
5.
Perubahan-perubahan pasca mortem
Pada jaringan otot hewan
hidup berlangsung proses kontraksi dan relaksasi secara natural. Apabila
rangsangan tersebut hilang maka jaringan otot akan kembali berrelaksasi. Proses
ini berlangsung melalui rangsangan datang melalui susunan syaraf
pusat, jaringan otot akan berkontraksidan apabla reaksi-reaksi biokimia pada
kondisi aerobik yang mana oksigen disuplai dari respirasi melalui sirkulasi darah. Apabila
hewan talah mati, maka respirasi dan sirkulasidarah akan terhenti dan
reaksi-reaksi biokimia dalam jaringan otot berlangsung secara anaerobik yang
menghasilkan terjadinya perubahan-perubahan fisiko-kimia pada jaringan otot.
Perubahan-perubahan ini berlangsung dalam 3 fase setelah hewan mati, yaitu :
a. Fase pre-rigo
Setelah hewan mati, maka
pernafasan dan sirkulasi darah akan terhenti sehingga suplai oksigen
ke jaringan otot juga terhenti. Akibatnya, proses oksidasi glikogen melalui
siklus KREB untuk menghasilkan ATP juga terhenti. Sisa glikogen yang
terdapat dalam jaringan otot akandipecah menjadi asam laktat melalui
proses glikosilisis anaerobik sehingga pH jaringan otot akanmenurun secara
perlahan-lahan. Segera setelah hewan mati (fase pre-rigor), dalam jaringan
ototmasih terdapat kompleks ATP- Mg2+ yang cukup untuk
menjaga agar tidak terjadi persilangan filamen-filamen aktin pada
sarkomer-sarkomer serabut otot sehingga jaringan otot tetap lunak,lemas dan
halus. Fase ini berlangsung sekitar 8–12 jasetelah hewan mati.
b. Fase rigor-mortis
Setelah hewan mati,
serabut retikuler tidak dapat berfungsi sehingga ion-ion Ca2+terlepasyang
mengakibatkan kompleks ATP- Mg2+ dipecah menghasilkan ATP bebas dan enzim
ATP-asediaktifkan untuk memecah ATP bebas menghasilkan energi yang diperlukan
untuk terjadinya persilangan filamen-filamen aktin pada sarkomer-sarkomer
serabut otot. Proses ini berlangsung secara
perlahan-lahan dan pada fase rigor-mortis, persilangan filamen-filamen aktin
padasarkomer-sarkomer serabut otot terjadi secara sempurna sehingga jaringan
otot menjadi keras,kasar dan kaku. Fase ini berlangsung sekitar
15 – 20 jam setelah fase pre-rigor.
c. Fase pasca-rigor
Mulai dari sejak hewan mati proses pemecahan
ATP dan glikogen berlangsung terusselama masih ada yang tersisa dalam jaringan
otot. Produk akhir dari pemecahan ATP adalahsenyawa-senyawa “precusor”
cita-rasa daging yang menyebabkan cita-rasa spesifik pada dagingdan produk
akhir pemecahan glikogen adalah asam laktat yang menyebabkan penurunan
pH jaringan otot.Pada fase pasca-rigor, pH jaringan otot yang normal
sekitar 6,5 -6,6 akan turun menjadi pH
sekitar 5,3 – 5,5. Apabila pH jaringan otot mencapai 5,5
maka sel-sel otot akan melepaskan dan mengaktifkan suatu enzim proteolitik
“cathepsin”. Enzim “cathepsin” ini akan mengendorkan serabut-serabut otot yang
tegang, melonggarkan struktur molekul proteinsehingga daya ikatnya terhadap air
meningkat dan menghancurkan ikatan-ikatan diantaraserabut-serabut otot
yang mana kesemuanya ini akan menyebabkan jaringan
otot yang tegangdan kaku pada fase rigor-mortis akan kembali menjadi empuk
dan halus pada fase pasca-rigor. Kondisi hewan pada waktu penyembelihan (lelah,
kelaparan, dsb.) akan mempengaruhisisa glikogen yang terdapat pada jaringan
otot. Apabila hewan lelah atau kelaparan
sebelum penyembelihan, maka sisa glikogen dalam jaringan otot sedikit
sehingga pH akhir yang dicapai pada fasepasca-rigor
relatif tinggi. Apabila pH akhir jaringan otot pada fase pasca-rigormencapai
5,8 atau lebih tinggi, maka daya ikat air dari molekul protein sedemikian
rupatingginya sehingga daging akan kelihatan gelap, kasar dan kering (GKK) atau
“dark, firm anddry” (DFD).
Sebaliknya, karena
faktor “strees” dan faktor -faktor lain yang belum diketahui,penurunan pH dapat berlangsung sangat cepat dan sangat rendah.
Hal ini akan menyebabkan
daya ikat air dari molekul protein juga sangat rendah sehingga daging kelihatan
pucat, lunak dan berair (PLB) atau“ pale, soft and exudative”
(PSE).
BAB III
A.
Penutup
1. Kesimpulan
Dari
hasil kunjungan dapat disimpulkan bahwa ayam yang dipotong merupakan ayam
yang sehat. Ayam broiler dipotong pada umur 31-33 hari dengan berat rata-rata
1,9 kg/ekor. Cara pemotongan ayam dilakukan dengan cara tradisional. Ayam yang
dipotong mengalami beberapa proses sebelum siap untuk didistribusikan, mulai
dari penyemblihan ayam, penuntasan darah, penyeduhan atau perebusan di dalam
air hangat sehingga bulu ayam mudah untuk dilepaskan, pencabutan bulu dilakukan
dengan menggunakan mesin pencabut bulu, Pengeluaran jeroan, dan terakhir
ayam dicuci dan siap untuk dijual atau didistribusikan. Apabila semua proses di
atas dilakukan dengan baik maka akan menghasilkan daging ayam yang berkualitas
baik juga sehingga laku dipasaran. Sedangkan apabila prose-proses tersebut
tidak dilakukan dengan baik maka daging ayam yang dihasilkan kurang baik, dan
akan mempengaruhi kandungan nilai gizi dari daging ayam tersebut, sehingga akan
mengurangi minat dari pembeli. Karena pembeli atau konsumen pasti akan memilih
kualitas daging ayam yang baik agar mampu menjalankan metabolisme tubuh yang
optimal. Jika ayam tidak habis terjual dilakukan dengan cara di simpan
di coolbox (frezer).
2. Saran
Ayam
boiler merupakan sumber protein hewani sehingga dianjurkan untuk dikonsumsi
untuk mencukupi kebutuhan gizi. Dalam membeli daging ayam pilihlah daging ayam
yang segar, dengan melihat warna dan bau dari daging ayam tersebut. Ayam yang
baik dikonsumsi adalah ayam yang dagingnya masih berwarna kuning cerah bukan
merah. apabila warnanya sudah merah atau sedikit kehitaman maka daging ayam
tersebut sudah tidak bagus, dan apabila baunya sudah tengik maka daging ayam
tersebut sudah tidak bagus/segar karena telah terjadi oksidasi lemak daging
dari ayam tersebut. Pemilihan ayam hendaknya dapat dilihat dari proses
pemeliharaan, tempat pemotongan dan yang paling utama yaitu harus mengetahui
tingkat kesehatan dan kesegaran ayam tersebut.
Daftar
pustaka
Rasyaf,M.,
Beternak Ayam Pedaging, Edisi Revisi
(Jakarta: penebar Swadaya, 1994).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar